Pada awalnya ia dimaksudkan untuk meninggikan daya beli rakyat Hindia Belanda,
serta menghasilkan buruh-buruh murah dan birokrat rendahan yang cukup terdidik
dari rakyat tanah jajahan. Biaya produksi kapitalisme tanah jajahan harus ditekan;
terlalu mahal menggunakan tenaga impor dari Belanda. Ternyata, pembukaan
sekolah-sekolah Belanda untuk elite pribumi dan para ningrat kelas dua seperti
Sukarno, menghasilkan sekumpulan orang-orang muda berpendidikan Barat yang
nantinya akan menjadi tulang punggung gerakan pembebasan nasional.
Perkebunan dan sawah-sawah lalu disirami dengan air dari bendungan irigasi yang dibangun oleh penjajah Belanda. Para pemuda kita pun kemudian berbondong-bondong memasuki Sekolah Rakyat, HIS, MULO dan HBS, hingga sekolah dokter (STOVIA), dan sekolah guru (Kweekschool). Pencerahan datang. Buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris membuka mata dan hati tentang perjuangan pembebasan nasional di seluruh negeri di bumi ini. Pencerahan menggugat orang-orang muda untuk berkumpul, bicara, berdiskusi dan menentukan. Lahirlah organisasi. Berdiri Budi Utomo, 1908.
Namun, jauh sebelum sejumlah priyayi terdidik Jawa mengumumkan Budi Utomo, perjuangan melawan Belanda telah dimulai di mana-mana. Bukan untuk pembebasan Indonesia, karena ia belum lahir sebagai sebuah realitas, tetapi untuk membebaskan tanah leluhur, gunung-gunung, bukit, sungai, pulau dan rakyatnya. Di akhir abad ke-19, perempuan-perempuan muda terlibat dalam perjuangan bersenjata melawan penjajah. Sebatas membantu suami pada awalnya, tetapi kemudian sungguh-sungguh menjadi pemimpin pasukannya. Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia, Christina Martha Tiahahu bersama Kapitan Pattimura, Emmy Saelan mendampingi Monginsidi, serta Roro Gusik bersama Surapati. Lalu ada Wolanda Maramis dan Nyi Ageng Serang. Gagasan kesetaraan gender belum ada, dan sama sekali belum menjadi kesadaran. Namun yang menarik adalah kebanyakan dari para perempuan ini adalah juga kaum bangsawan, para ningrat dengan status sosial lebih tinggi dibanding para “kawula” yang bertelanjang dada itu dan coklat hitam itu. Ini bisa dipahami, karena beberapa memilih angkat senjata sebab tanah-tanah keluarganya diserobot oleh Kumpeni. Terusik, karena pemilikan pibadinya terganggu. Tak perlu masuk sekolah Belanda untuk membangun gerakan nasional, para perempuan ini angkat senjata dengan gigih, dan membayar nyawanya di tiang gantungan seperti Tiahahu.
Perkebunan dan sawah-sawah lalu disirami dengan air dari bendungan irigasi yang dibangun oleh penjajah Belanda. Para pemuda kita pun kemudian berbondong-bondong memasuki Sekolah Rakyat, HIS, MULO dan HBS, hingga sekolah dokter (STOVIA), dan sekolah guru (Kweekschool). Pencerahan datang. Buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris membuka mata dan hati tentang perjuangan pembebasan nasional di seluruh negeri di bumi ini. Pencerahan menggugat orang-orang muda untuk berkumpul, bicara, berdiskusi dan menentukan. Lahirlah organisasi. Berdiri Budi Utomo, 1908.
Namun, jauh sebelum sejumlah priyayi terdidik Jawa mengumumkan Budi Utomo, perjuangan melawan Belanda telah dimulai di mana-mana. Bukan untuk pembebasan Indonesia, karena ia belum lahir sebagai sebuah realitas, tetapi untuk membebaskan tanah leluhur, gunung-gunung, bukit, sungai, pulau dan rakyatnya. Di akhir abad ke-19, perempuan-perempuan muda terlibat dalam perjuangan bersenjata melawan penjajah. Sebatas membantu suami pada awalnya, tetapi kemudian sungguh-sungguh menjadi pemimpin pasukannya. Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia, Christina Martha Tiahahu bersama Kapitan Pattimura, Emmy Saelan mendampingi Monginsidi, serta Roro Gusik bersama Surapati. Lalu ada Wolanda Maramis dan Nyi Ageng Serang. Gagasan kesetaraan gender belum ada, dan sama sekali belum menjadi kesadaran. Namun yang menarik adalah kebanyakan dari para perempuan ini adalah juga kaum bangsawan, para ningrat dengan status sosial lebih tinggi dibanding para “kawula” yang bertelanjang dada itu dan coklat hitam itu. Ini bisa dipahami, karena beberapa memilih angkat senjata sebab tanah-tanah keluarganya diserobot oleh Kumpeni. Terusik, karena pemilikan pibadinya terganggu. Tak perlu masuk sekolah Belanda untuk membangun gerakan nasional, para perempuan ini angkat senjata dengan gigih, dan membayar nyawanya di tiang gantungan seperti Tiahahu.
Kartini
Lalu, beberapa belas tahun sebelum Budi Utomo hadir, Kartini yang manis itu telah menulis surat-suratnya. Menyala-nyala dengan cita-cita dan keinginan untuk belajar dan bebas, Kartini harus menerima kenyataan hanya disekolahkan hingga usia 12 tahun. Bahasa Belanda telah dikuasai, maka energi, gairah, kekecewaan dan angan-angannya disalurkan lewat surat-suratnya—yang mengejutkan– begitu indah dan puitis.
Berbagai literatur yang memuat tulisan tentang Kartini menyatakan bahwa, gagasan-gagasan utama Kartini adalah meningkatkan pendidikan bagi kaum perempuan, baik dari kalangan miskin maupun atas, serta reformasi sistem perkawinan, dalam hal ini menolak poligami yang ia anggap merendahkan perempuan. Namun dalam Panggil Aku Kartini Saja yang ditulis oleh Pramoedya tergambar bahwa gagasan dan cita-cita Kartini lebih dalam, lebih tinggi dan lebih luas daripada sekedar mencerdaskan kaum perempuan dan memperjuangkan monogami (meskipun hal ini menjadi sentral dari praktek perjuangannya). Kartini, bagi Pram adalah feminis yang anti kolonialisme dan anti feodalisme, hingga ke tulang sum-sumnya.
Surat-suratnya kepada Stella Zeehandelaar, seorang feminis sosialis dari Belanda, banyak yang telah dihancurkan. Justru percakapan tertulis dengan Stella-lah yang banyak membuka mata dan hati Kartini terhadap masalah perempuan dan pembebasannya. Juga memahat secara perlahan-lahan penolakannya akan dominasi golongan feodal terhadap rakyat kecil. Surat Kartini yang secara khusus membahas buku Auguste Bebel De Vrouw en Sosialisme dihapus oleh Abendanon karena kepentingan kolonialnya. Kartini banyak menerima buku-buku progresif semacam ini dari sahabatnya H.H van Kol, seorang sosialis demokrat anggota Tweede Kamer. Mungkin dari surat-surat itu, gambaran yang lebih utuh tentang pikiran-pikiran politik Putri Jepara yang tak ingin dipanggil dengan gelarnya itu, bisa lebih utuh. Pram mampu memberikan perimbangan kepada distorsi yang telah merajalela selama ini terhadap sosok Kartini–mulai dari mitosisasi Kartini, hingga reduksi terhadap gagasan-gagasannya.
Satu hal yang juga perlu dicatat adalah saat Kartini menulis suratnya, sentimen nasionalisme yang terorganisir belum muncul. Organisasi pertama kaum buruh SS Bond, baru hadir tahun 1905, setahun setelah kematian Kartini. Tradisi menggunakan media surat kabar dan terbitan untuk menyebarluaskan propaganda, belum timbul. Karya jurnalisme awal dari Sang Pemula (Tirto Adhi Suryo), Medan Prijaji, baru terbit tahun 1906. Referensi dari gagasan-gagasan orisinil Kartini berasal dari berbagai literatur berbahasa Belanda yang dibaca Kartini dalam masa pingitannya, serta korespondesinya dengan khususnya Stella.. Adalah satu hal luar biasa bahwa Kartini yang sendirian, terisolasi dan merasa sunyi itu mampu membangun satu gagasan politik yang progresif untuk zamannya, baik menyangkut kaum perempuan maupun para kawula miskin tanah jajahan. Gagasan-gagasan ini lalu diikuti oleh beberapa tokoh perempuan lainnya, seperti Dewi Sartika dan Rohina Kudus. Namun Kartini tetaplah Sang Pemula, yang mengawali seluruh tradisi intelektual gerakan perempuan Indonesia, berikut gagasan paling awal dalam melihat ketertindasan rakyat di bawah feodalisme dan kapitalisme. Nasib tragis Kartini menjadi salah satu petunjuk bahwa tak ada jalan baginya untuk membangun perjuangan dengan cara lain yang lebih kuat dan efektif. Zaman beorganisasi belum terbit.
Pembebasan Nasional
Alangkah besarnya sumbangan yang diberikan oleh Gerakan Pembebasan Nasional kepada perkembangan gerakan perempuan. Di satu sisi, berbagai oganisasi nasional ataupun partai politik saat itu berupaya membangun sayap perempuannya sendiri, ataupun mendukung dan didukung oleh perjuangan perempuan di satu sektor atau kelas tertentu. Di sisi lain, perkembangan gerakan berbasiskan agama seperti Muhammadiyah, turut pula membentuk polarisasi dalam gerakan perempuan. Berbagai karya jurnalismepun bertebaran, bukan hanya dalam Belanda, tetapi terutama dalam bahasa melayu. Gairah nasionalisme tengah mencari jalan memodernisasi dirinya.
Saat Sarekat Dagang Islam mengubah namanya menjadi Sarekat Islam, bulan September 1912, maka watak organisasi pun berubah. Dari yang semula didominasi oleh kaum borjuis kecil pedagang batik kelontong Solo dan sekitarnya yang mengorganisir diri untuk menghadapi pedagang Cina, kini keanggotaannya menjadi lebih massif, lebih terbuka, dan konsekuensinya, lebih politis. Alasan-alasan komersial yang melandasi pendiriannya dulu telah memudar, karena muncul kebutuhan rakyat jajahan, khususnya di pedesaan, akan wadah untuk melakukan perlawanan. Meski arus perlawanan ini coba terus ditahan-tahan oleh para pimpinan SI yang kebanyakan berhaluan Islam modernis, agak mistik meski berpaham liberal.
Hingga Sneevliet mendarat tahun 1913, belum ada gerakan kiri di indonesia. Indonesia seperti sebuah titik di tengah jutaan mil samudera, di mana puluhan negeri-negeri lain pun tengah memperjuangkan harga diri dan kemerdekaan. Cikal bakal Partai Komunis Indonesia, ISDV (Perhimpunan Sosial Demokrat Hindia Belanda) didirikannya di tahun 1914. Semaoen yang masih sangat muda pada waktu itu, merupakan salah satu kadernya yang bersemangat dalam mengorganisir SI Semarang, meski tak cukup punya uang untuk masuk sekolah Belanda. Desakan-desakan dan pengaruh kelompok kiri di tubuh SI terus membesar, dan para pimpinan moderatnya mulai kehilangan kontrol atas SI. Tahun 1921, banyak cabang SI yang membelot ke SI Merah pimpinan Semaoen. SI Merah lalu menjadi SI Rakyat.
Salah satu persoalan yang membuat pertikaian tajam dalam tubuh SI adalah desakan kelompok kiri untuk mengorganisir dan membela kaum buruh dan tani. Jajaran pimpinan SI menolak memberi dukungan bagi militansi perlawanan kaum buruh dan tani, yang sebagiannya adalah perempuan. Namun, aksi-aksi buruh, khususnya buruh transportasi dan perkebunan, serta aksi kaum tani terus bergolak. Sarekat Rakyat pun mengorganisir berbagai demonstrasi politik buruh perempuan menuntut kenaikan upah, penghapusan buruh anak, perpanjangan kontrak maksimum, uang pensiun dan perlindungan kerja. Salah satu aksi buruh perempuan pada tahun 1926 yang diorganisir SR di Semarang adalah aksi ‘caping kropak”, dimana para buruh perkebunan perempuan unjuk rasa menuntut kesejahteraan dengan menggunakan topi bambu.
Gerakan perempuan kelas bawah yang diorganisir SI Merah (kemudian SR) berada dalam posisi yang bertentangan dengan Aisyah, sayap perempuan Muhammadiyah. Muhammdiyah dan Aisyah yang kebanyakan anggotanya adalah tani kaya, istri tuan tanah dan borjuis kecil Jogja dan Solo itu berada dalam kepentingan yang berseberangan dengan SR, yang kebanyakan anggotanya adalah buruh perempuan miskin dan tani papa. Ini merupakan awal dari pertentangan laten yang tak terdamaikan antara gerakan perempuan sayap kiri dengan kaum perempuan Islam di masa mendatang. Perbedaan tajamnya bukan hanya berdasarkan pada kepentingan kelas yang direpresentasikan oleh masing-masing kelompok, namun juga untuk isu-isu seperti poligami dan keterlibatan aktif perempuan sebagai pimpinan politik.
Pemberontakan 1926 membawa banyak korban dari para aktivis perempuan. Kali ini bukan karena sekedar membantu suami, namun disebabkan kegiatan mereka sendiri. Sukaesih dan Munasiah dari Jawa Barat, bersama dengan kawan-kawan mereka yang lain, dikirim ke kamp konsentrasi Belanda di Digul Atas. Kebanyakan aktivis perempuan ini adalah anggota dari Sarekat Rakyat ataupun PKI yang berdiri tahun 1922. Penjajah Belanda yang sudah lama menanti-nanti saat yang tepat untuk menghancurkan kaum radikal, melakukan pembersihan terhadap tokoh SR dan PKI saat itu, termasuk para perempuannya. Tokoh-tokoh ini tidaklah populer seperti Kartini. Publikasi Kartini diperkenankan dan difasilitasi oleh pemerintah Belanda karena saat itu mereka membutuhkan bukti untuk menunjukkan sukses pelaksanaan politik etisnya di tanah jajahan, dengan mengusung pameran intelektualitas dan kehalusan tulisan si Putri Jepara. Meski demikian, perjuangan Sukaesih dkk., sangat konkrit dan revolusioner, karena bukan hanya berbicara tentang pembebasan kaum perempuan, tetapi juga perjuangan untuk sosialisme, dengan kemerdekaan sebagai jembatannya. Munasiah, mislanya, dalam sebuah kongres perempuan di Semarang menyatakan bahwa : “ Wanita itu mataharinya rumah tangga, itu dulu! Tapi sekarang wanita jadi alatnya kapitalis. Padahal sejak zaman Mojopahit, wanita sudah berjuang. Sekarang adanya pelacur, itu bukan salahnya wanita. Tapi salahnya kapitalisme dan imperialisme!”.
Terlepas dari perbedaan latar belakang ideologi yang dianutnya, beberapa hal penting patut jadi kesimpulan. Gagasan-gagasan feminis, berikut praktek hingga pembentukan organisasi-oganisasi perempuan selama masa periode pertama gerakan perempuan Indonesia ini, ternyata pada umumnya muncul sebagai inisiatif dari kalangan perempuan menengah ke atas. Mulai dari Kartini, Dewi Sartika, Putri Mardhika (yang dekat dengan Budi Utomo), hingga Aisyah. Hanya sayap perempuan dari Sarekat Rakyat-lah yang sungguh-sungguh mengabdikan dirinya dalam pengorganisasian dan membangun radikalisasi perempuan miskin. Persoalan-persoalan yang diangkatpun, oleh karenanya lebih banyak menyangkut hal yang menguntungkan ataupun dapat diakses oleh perempuan menengah ke atas, seperti permaduan, perdagangan anak dan kesetaraan pendidikan. Perempuan buruh dan tani telah jauh sebelumnya terlibat dalam carut marut proses produksi keji kaum kolonial semacam tanam paksa, mengalami ketertindasan dan terhina dirinya sebagai kelas proletar. Ini mirip dengan gerakan perempuan Amerika dan Eropa di abad ke-18, yang memfokuskan tuntutannya pada hak untuk memilih dan dipilih (universal suffrage). Meski demikian, seminimal apapun pengaruhnya baik mayoritas kaum perempuan di kelas bawah, gerakan perempuan menengah ini telah mampu membuka jalan dan peluang bagi perjuangan kaum perempuan selanjutnya.
Lalu, beberapa belas tahun sebelum Budi Utomo hadir, Kartini yang manis itu telah menulis surat-suratnya. Menyala-nyala dengan cita-cita dan keinginan untuk belajar dan bebas, Kartini harus menerima kenyataan hanya disekolahkan hingga usia 12 tahun. Bahasa Belanda telah dikuasai, maka energi, gairah, kekecewaan dan angan-angannya disalurkan lewat surat-suratnya—yang mengejutkan– begitu indah dan puitis.
Berbagai literatur yang memuat tulisan tentang Kartini menyatakan bahwa, gagasan-gagasan utama Kartini adalah meningkatkan pendidikan bagi kaum perempuan, baik dari kalangan miskin maupun atas, serta reformasi sistem perkawinan, dalam hal ini menolak poligami yang ia anggap merendahkan perempuan. Namun dalam Panggil Aku Kartini Saja yang ditulis oleh Pramoedya tergambar bahwa gagasan dan cita-cita Kartini lebih dalam, lebih tinggi dan lebih luas daripada sekedar mencerdaskan kaum perempuan dan memperjuangkan monogami (meskipun hal ini menjadi sentral dari praktek perjuangannya). Kartini, bagi Pram adalah feminis yang anti kolonialisme dan anti feodalisme, hingga ke tulang sum-sumnya.
Surat-suratnya kepada Stella Zeehandelaar, seorang feminis sosialis dari Belanda, banyak yang telah dihancurkan. Justru percakapan tertulis dengan Stella-lah yang banyak membuka mata dan hati Kartini terhadap masalah perempuan dan pembebasannya. Juga memahat secara perlahan-lahan penolakannya akan dominasi golongan feodal terhadap rakyat kecil. Surat Kartini yang secara khusus membahas buku Auguste Bebel De Vrouw en Sosialisme dihapus oleh Abendanon karena kepentingan kolonialnya. Kartini banyak menerima buku-buku progresif semacam ini dari sahabatnya H.H van Kol, seorang sosialis demokrat anggota Tweede Kamer. Mungkin dari surat-surat itu, gambaran yang lebih utuh tentang pikiran-pikiran politik Putri Jepara yang tak ingin dipanggil dengan gelarnya itu, bisa lebih utuh. Pram mampu memberikan perimbangan kepada distorsi yang telah merajalela selama ini terhadap sosok Kartini–mulai dari mitosisasi Kartini, hingga reduksi terhadap gagasan-gagasannya.
Satu hal yang juga perlu dicatat adalah saat Kartini menulis suratnya, sentimen nasionalisme yang terorganisir belum muncul. Organisasi pertama kaum buruh SS Bond, baru hadir tahun 1905, setahun setelah kematian Kartini. Tradisi menggunakan media surat kabar dan terbitan untuk menyebarluaskan propaganda, belum timbul. Karya jurnalisme awal dari Sang Pemula (Tirto Adhi Suryo), Medan Prijaji, baru terbit tahun 1906. Referensi dari gagasan-gagasan orisinil Kartini berasal dari berbagai literatur berbahasa Belanda yang dibaca Kartini dalam masa pingitannya, serta korespondesinya dengan khususnya Stella.. Adalah satu hal luar biasa bahwa Kartini yang sendirian, terisolasi dan merasa sunyi itu mampu membangun satu gagasan politik yang progresif untuk zamannya, baik menyangkut kaum perempuan maupun para kawula miskin tanah jajahan. Gagasan-gagasan ini lalu diikuti oleh beberapa tokoh perempuan lainnya, seperti Dewi Sartika dan Rohina Kudus. Namun Kartini tetaplah Sang Pemula, yang mengawali seluruh tradisi intelektual gerakan perempuan Indonesia, berikut gagasan paling awal dalam melihat ketertindasan rakyat di bawah feodalisme dan kapitalisme. Nasib tragis Kartini menjadi salah satu petunjuk bahwa tak ada jalan baginya untuk membangun perjuangan dengan cara lain yang lebih kuat dan efektif. Zaman beorganisasi belum terbit.
Pembebasan Nasional
Alangkah besarnya sumbangan yang diberikan oleh Gerakan Pembebasan Nasional kepada perkembangan gerakan perempuan. Di satu sisi, berbagai oganisasi nasional ataupun partai politik saat itu berupaya membangun sayap perempuannya sendiri, ataupun mendukung dan didukung oleh perjuangan perempuan di satu sektor atau kelas tertentu. Di sisi lain, perkembangan gerakan berbasiskan agama seperti Muhammadiyah, turut pula membentuk polarisasi dalam gerakan perempuan. Berbagai karya jurnalismepun bertebaran, bukan hanya dalam Belanda, tetapi terutama dalam bahasa melayu. Gairah nasionalisme tengah mencari jalan memodernisasi dirinya.
Saat Sarekat Dagang Islam mengubah namanya menjadi Sarekat Islam, bulan September 1912, maka watak organisasi pun berubah. Dari yang semula didominasi oleh kaum borjuis kecil pedagang batik kelontong Solo dan sekitarnya yang mengorganisir diri untuk menghadapi pedagang Cina, kini keanggotaannya menjadi lebih massif, lebih terbuka, dan konsekuensinya, lebih politis. Alasan-alasan komersial yang melandasi pendiriannya dulu telah memudar, karena muncul kebutuhan rakyat jajahan, khususnya di pedesaan, akan wadah untuk melakukan perlawanan. Meski arus perlawanan ini coba terus ditahan-tahan oleh para pimpinan SI yang kebanyakan berhaluan Islam modernis, agak mistik meski berpaham liberal.
Hingga Sneevliet mendarat tahun 1913, belum ada gerakan kiri di indonesia. Indonesia seperti sebuah titik di tengah jutaan mil samudera, di mana puluhan negeri-negeri lain pun tengah memperjuangkan harga diri dan kemerdekaan. Cikal bakal Partai Komunis Indonesia, ISDV (Perhimpunan Sosial Demokrat Hindia Belanda) didirikannya di tahun 1914. Semaoen yang masih sangat muda pada waktu itu, merupakan salah satu kadernya yang bersemangat dalam mengorganisir SI Semarang, meski tak cukup punya uang untuk masuk sekolah Belanda. Desakan-desakan dan pengaruh kelompok kiri di tubuh SI terus membesar, dan para pimpinan moderatnya mulai kehilangan kontrol atas SI. Tahun 1921, banyak cabang SI yang membelot ke SI Merah pimpinan Semaoen. SI Merah lalu menjadi SI Rakyat.
Salah satu persoalan yang membuat pertikaian tajam dalam tubuh SI adalah desakan kelompok kiri untuk mengorganisir dan membela kaum buruh dan tani. Jajaran pimpinan SI menolak memberi dukungan bagi militansi perlawanan kaum buruh dan tani, yang sebagiannya adalah perempuan. Namun, aksi-aksi buruh, khususnya buruh transportasi dan perkebunan, serta aksi kaum tani terus bergolak. Sarekat Rakyat pun mengorganisir berbagai demonstrasi politik buruh perempuan menuntut kenaikan upah, penghapusan buruh anak, perpanjangan kontrak maksimum, uang pensiun dan perlindungan kerja. Salah satu aksi buruh perempuan pada tahun 1926 yang diorganisir SR di Semarang adalah aksi ‘caping kropak”, dimana para buruh perkebunan perempuan unjuk rasa menuntut kesejahteraan dengan menggunakan topi bambu.
Gerakan perempuan kelas bawah yang diorganisir SI Merah (kemudian SR) berada dalam posisi yang bertentangan dengan Aisyah, sayap perempuan Muhammadiyah. Muhammdiyah dan Aisyah yang kebanyakan anggotanya adalah tani kaya, istri tuan tanah dan borjuis kecil Jogja dan Solo itu berada dalam kepentingan yang berseberangan dengan SR, yang kebanyakan anggotanya adalah buruh perempuan miskin dan tani papa. Ini merupakan awal dari pertentangan laten yang tak terdamaikan antara gerakan perempuan sayap kiri dengan kaum perempuan Islam di masa mendatang. Perbedaan tajamnya bukan hanya berdasarkan pada kepentingan kelas yang direpresentasikan oleh masing-masing kelompok, namun juga untuk isu-isu seperti poligami dan keterlibatan aktif perempuan sebagai pimpinan politik.
Pemberontakan 1926 membawa banyak korban dari para aktivis perempuan. Kali ini bukan karena sekedar membantu suami, namun disebabkan kegiatan mereka sendiri. Sukaesih dan Munasiah dari Jawa Barat, bersama dengan kawan-kawan mereka yang lain, dikirim ke kamp konsentrasi Belanda di Digul Atas. Kebanyakan aktivis perempuan ini adalah anggota dari Sarekat Rakyat ataupun PKI yang berdiri tahun 1922. Penjajah Belanda yang sudah lama menanti-nanti saat yang tepat untuk menghancurkan kaum radikal, melakukan pembersihan terhadap tokoh SR dan PKI saat itu, termasuk para perempuannya. Tokoh-tokoh ini tidaklah populer seperti Kartini. Publikasi Kartini diperkenankan dan difasilitasi oleh pemerintah Belanda karena saat itu mereka membutuhkan bukti untuk menunjukkan sukses pelaksanaan politik etisnya di tanah jajahan, dengan mengusung pameran intelektualitas dan kehalusan tulisan si Putri Jepara. Meski demikian, perjuangan Sukaesih dkk., sangat konkrit dan revolusioner, karena bukan hanya berbicara tentang pembebasan kaum perempuan, tetapi juga perjuangan untuk sosialisme, dengan kemerdekaan sebagai jembatannya. Munasiah, mislanya, dalam sebuah kongres perempuan di Semarang menyatakan bahwa : “ Wanita itu mataharinya rumah tangga, itu dulu! Tapi sekarang wanita jadi alatnya kapitalis. Padahal sejak zaman Mojopahit, wanita sudah berjuang. Sekarang adanya pelacur, itu bukan salahnya wanita. Tapi salahnya kapitalisme dan imperialisme!”.
Terlepas dari perbedaan latar belakang ideologi yang dianutnya, beberapa hal penting patut jadi kesimpulan. Gagasan-gagasan feminis, berikut praktek hingga pembentukan organisasi-oganisasi perempuan selama masa periode pertama gerakan perempuan Indonesia ini, ternyata pada umumnya muncul sebagai inisiatif dari kalangan perempuan menengah ke atas. Mulai dari Kartini, Dewi Sartika, Putri Mardhika (yang dekat dengan Budi Utomo), hingga Aisyah. Hanya sayap perempuan dari Sarekat Rakyat-lah yang sungguh-sungguh mengabdikan dirinya dalam pengorganisasian dan membangun radikalisasi perempuan miskin. Persoalan-persoalan yang diangkatpun, oleh karenanya lebih banyak menyangkut hal yang menguntungkan ataupun dapat diakses oleh perempuan menengah ke atas, seperti permaduan, perdagangan anak dan kesetaraan pendidikan. Perempuan buruh dan tani telah jauh sebelumnya terlibat dalam carut marut proses produksi keji kaum kolonial semacam tanam paksa, mengalami ketertindasan dan terhina dirinya sebagai kelas proletar. Ini mirip dengan gerakan perempuan Amerika dan Eropa di abad ke-18, yang memfokuskan tuntutannya pada hak untuk memilih dan dipilih (universal suffrage). Meski demikian, seminimal apapun pengaruhnya baik mayoritas kaum perempuan di kelas bawah, gerakan perempuan menengah ini telah mampu membuka jalan dan peluang bagi perjuangan kaum perempuan selanjutnya.
Periode
Kedua Gerakan Perempuan
Saskia Wireringa, seorang feminis indonesia yang berdiam di Belanda, menyebutnya sebagai periode kedua. Tidak dijelaskan apa yang melandasi timbulnya pembagian waktu demikian. Namun kelihatannya, paska kehancuran PKI dan gerakan kiri 1926, ada upaya untuk mengorganisasi gerakan secara berbeda dari sebelumnya. Harus juga dilihat bahwa situasi gerakan pembebasan nasional saat itu, secara fisik dan terutama intelektual, mulai tumbuh dewasa. Perbedaan-perbedaan ideologis terumuskan dan terbaca jelas melalui strategi dan taktik yang dimunculkan, baik oleh PKI, PNI, PI, dan berbagai wadah lainnya. Tokoh-tokoh yang menjadi magnet dari gerakan ini mulai muncul dan mendapatkan tempatnya sendiri-sendiri di hati dan telinga rakyat. Namun kemajuan yang paling terang benderang adalah, dipergunakannya partai politik sebagai alat perjuangan untuk merebut kekuasaan dan membebaskan Indonesia. Zaman berpolitik ala Sarekat Islam, saat Tjokroaminoto meninabobokkan orang miskin tentang Ratu Adil dan menjebloskan agama semakin dalam ke jurang mistik, telah lunglai cahayanya. Ini zaman baru. Zaman dimana teori-teori kiri, pemikiran sosial demokrat, nasionalisme dan gagasan-gagasan liberal, bahkan fasisme, menjadi bahan debat sengit di kalangan para inlander terdidik, berjas dan berdasi.
Otomatis, gerakan perempuan pun menyesuaikan dinamikanya dengan perkembangan ini. Nasionalisme menjadi gagasan yang diterima seluruh kekuatan politik yang ada, sehingga konsepsi persatuan menjadi lebih mudah untuk diwujudkan. Maka, Kongres Perempuan Indonesia nasional pertama diadakan di Yogyakarta pada bulan Desember 1928, setelah Sumpah Pemuda. Dihadiri oleh hampir 30 organisasi perempuan, kongres ini merupakan fondasi pertama gerakan perempuan, dan upaya konsolidasi dari berbagai organisasi perempuan yang ada
Kongres Pertama ini menghasilkan federasi oganisasi perempuan bernama Persatoean Perempoean Indonesia (PPI), yang setahun kemudian diubah menjadi PPII (Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia). PPII sangat giat di bidang pendidikan dan membentuk panitia penghapusan perdagangan perempuan. Perbedaan tajam dengan kelompok Islam soal poligami tetap timbul dan tak terdamaikan.
Mayoritas peserta Kongres datang dari perempuan kalangan atas, meskipun organisasi perempuan kiri mulai mewarnai. Kongres Perempuan II di Jakarta (1935) dan Kongres III di Bandung (1938) menunjukkan kecenderungan yang semakin populis dari gerakan perempuan. Orientasi kepada perempuan kelas bawah mulai menguat, meski dalam hal program tidak selalu konsisten. Yang memilukan adalah tidak ada satupun organisasi yang tergabung dalam Kongres Perempuan Indonesia (KPI) mengeluarkan pernyataan terbuka menolak dan melawan penjajahan kolonial, kecuali Sarekat rakyat dan Istri Sedar. Kedua kelompok ini secara konsisten mendorong agar kaum perempuan terlibat dalam perjuangan kemerdekaan. Seperti yang diucapkan Sukarno pada tahun 1932 : “Saat ini perjuangan kaum perempuan yang terpenting bukanlah demi kesetaraan, karena di bawah kolonialisme laki-laki juga terttindas. Maka, bersama-sama dengan laki-laki, memerdekakan Indonesia. Karena hanya di bawah Indonesia yang merdekalah, kaum perempuan akan mendapatkan kesetaraannya.” Di tengah-tengah ombak besar nasionalisme yang siang malam menyerbu mimpi-mimpi para pemuda, mayoritas kelompok perempuan lainnya memfokuskan diri semata pada pendidikan, pemberantasan buta huruf dan soal-soal keperempuanan. Meskipun hal ini juga amat penting, namun tanpa keterlibatan dalam perjuangan kemerdekaan, semua persoalan kesetaraan akan gagal menghasilkan pembebasan dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun..
Nasionalisme vs Feminisme?
Menurut sejumlah sejarawan feminis sepert Saskia Wieringa, sejak Kongres 1928, telah terjadi tarik menarik antara kepentingan nasionalisme dan feminisme. “Persatuan Nasional” diatur di atas landasan berpikir patriarki yang masih kental, sehingga pandangan tentang konsepsi kesetaraan menjadi pragmatis, sama sekali tak mendalam. Patriarki “disembunyikan”, menjadi sekunder dan samar dalam keteguhan praktek politik membebaskan darat dan laut Indonesia, karena ada prioritas-prioritas perjuangan yang lebih penting.
Di satu sisi, pandangan ini tidak sepenuhnya tepat. Kongres Pemuda bulan Mei pada tahun yang sama (yang menelurkan Sumpah Pemuda), sesungguhnya telah memasukkan butir mengenai “pentingnya kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan persatuan nasional”, dari keseluruhan enam butir topik yang dibahas. Meski demikian, seluruh konsepsi tentang kesetaraan saat itu memang tersubordinasi di bawah kepentingan nasionalisme dan persatuan. Kemudian dalam Kongres Pemuda 1928, juga ada alokasi satu sessi khusus untuk membicarakan persoalan perempuan. Beberapa pembicara seperti M. Tabrani, Bahder Johan, Djaksodipoero dan Nona Adam pun memiliki pandangan yang cukup maju dalam mengkaitkan persoalan perempuan dan kemerdekaan. Meskipun dalam praktek, kesetaraan belum tentu dapat dilaksanakan.
Namun di sisi lain kesenjangan memang terjadi karena masih lemahnya kemampuan gerakan perempuan saat itu untuk membangun satu konsep perjuangan perempuan yang menyeluruh. Juga disebabkan basis massa yang masih kecil dan belum terpolitisasi dari kalangan perempuan, di tengah gerakan anti penjajahan yang menggelembung. Hanya Serikat Rakyat dan Istri Sedar-lah kelompok perempuan yang pada waktu itu secara terbuka menolak kolonialisme. dan kapitalisme. Mungkin “tarik menarik” bukanlah istilah yang tepat, mengingat posisi gerakan perempuan memang belum semassif, sepolitis dan seefektif gerakan anti kolonial. Konsekuensinya, kesetaaan lebih dilihat sebagai tahap yang harus dibenahi demi konsolidasi persatuan nasional, ketimbang sebagai satu hak politik dan ekonomi kaum perempuan seutuhnya.
Jika melihat pengalaman gerakan perempuan Amerika Serikat dan Perancis, kedua-duanya pun timbul dan termotivasi dalam situasi revolusioner yang diciptakan oleh gerakan pembebasan nasional melawan Inggris dan Revolusi Borjuis Perancis 1789. Harus dilihat bahwa gerakan perempuan tidak timbul dan berkembang sendirian, ia adalah reaksi tehadap perkembangan masyarakat dan relasi produksinya. Maka, dalam perjalanannya feminisme tidak mungkin dikontradiksikan dengan arus besar nasionalisme anti kolonial, gerakan anti imperialisme di jaman Sukarno, ataupun gerakan demokrasi dan anti neoliberalisme di masa sekarang.
Setelah Kongres Perempuan tahun 1928 itu, muncul organisasi-organisasi perempuan yang radikal dalam menentang poligini (perceraian sepihak oleh laki-laki), poligami, perkawinan anak perempuan, dan berpendirian nonkooperatif terhadap Pemerintah Kolonial, seperti Isteri Sedar. Muncul pula “sekolah-sekolah liar”, yang menolak subsidi pemerintah kolonial. Di sekolah-sekolah ini ditanamkan semangat cinta Tanah Air dan cita-cita kemerdekaan. Belakangan Istri Sedar menjelma menjadi Gerwis, yang merupakan cikal bakal Gerwani nantinya.
Tidak banyak tersedia data tentang para tokoh perempuan yang terlibat dalam gerakan bawah tanah melawan fasisme Jepang. Berbagai organisasi pemuda seperti Gerindo, AMI, Angkatan Muda Minyak, PRI dan terakhir Pesindo (1945). Namun data tentang keterlibatan kaum perempuan dalam wadah dan laskar-laskar itu sering disebut hanya selintas saja dalam banyak literatur. Yang cukup menonjol adalah keberadaan GWS (Gerakan Wanita Sosialis), organisasi para perempuan dari simpang kiri gerakan. Banyak anggota GWS saat itu yang ditangkap dan dibunuh Nippon karena berani terlibat dalam gerakan bawah tanah melawan fasisme Jepang.
Saskia Wireringa, seorang feminis indonesia yang berdiam di Belanda, menyebutnya sebagai periode kedua. Tidak dijelaskan apa yang melandasi timbulnya pembagian waktu demikian. Namun kelihatannya, paska kehancuran PKI dan gerakan kiri 1926, ada upaya untuk mengorganisasi gerakan secara berbeda dari sebelumnya. Harus juga dilihat bahwa situasi gerakan pembebasan nasional saat itu, secara fisik dan terutama intelektual, mulai tumbuh dewasa. Perbedaan-perbedaan ideologis terumuskan dan terbaca jelas melalui strategi dan taktik yang dimunculkan, baik oleh PKI, PNI, PI, dan berbagai wadah lainnya. Tokoh-tokoh yang menjadi magnet dari gerakan ini mulai muncul dan mendapatkan tempatnya sendiri-sendiri di hati dan telinga rakyat. Namun kemajuan yang paling terang benderang adalah, dipergunakannya partai politik sebagai alat perjuangan untuk merebut kekuasaan dan membebaskan Indonesia. Zaman berpolitik ala Sarekat Islam, saat Tjokroaminoto meninabobokkan orang miskin tentang Ratu Adil dan menjebloskan agama semakin dalam ke jurang mistik, telah lunglai cahayanya. Ini zaman baru. Zaman dimana teori-teori kiri, pemikiran sosial demokrat, nasionalisme dan gagasan-gagasan liberal, bahkan fasisme, menjadi bahan debat sengit di kalangan para inlander terdidik, berjas dan berdasi.
Otomatis, gerakan perempuan pun menyesuaikan dinamikanya dengan perkembangan ini. Nasionalisme menjadi gagasan yang diterima seluruh kekuatan politik yang ada, sehingga konsepsi persatuan menjadi lebih mudah untuk diwujudkan. Maka, Kongres Perempuan Indonesia nasional pertama diadakan di Yogyakarta pada bulan Desember 1928, setelah Sumpah Pemuda. Dihadiri oleh hampir 30 organisasi perempuan, kongres ini merupakan fondasi pertama gerakan perempuan, dan upaya konsolidasi dari berbagai organisasi perempuan yang ada
Kongres Pertama ini menghasilkan federasi oganisasi perempuan bernama Persatoean Perempoean Indonesia (PPI), yang setahun kemudian diubah menjadi PPII (Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia). PPII sangat giat di bidang pendidikan dan membentuk panitia penghapusan perdagangan perempuan. Perbedaan tajam dengan kelompok Islam soal poligami tetap timbul dan tak terdamaikan.
Mayoritas peserta Kongres datang dari perempuan kalangan atas, meskipun organisasi perempuan kiri mulai mewarnai. Kongres Perempuan II di Jakarta (1935) dan Kongres III di Bandung (1938) menunjukkan kecenderungan yang semakin populis dari gerakan perempuan. Orientasi kepada perempuan kelas bawah mulai menguat, meski dalam hal program tidak selalu konsisten. Yang memilukan adalah tidak ada satupun organisasi yang tergabung dalam Kongres Perempuan Indonesia (KPI) mengeluarkan pernyataan terbuka menolak dan melawan penjajahan kolonial, kecuali Sarekat rakyat dan Istri Sedar. Kedua kelompok ini secara konsisten mendorong agar kaum perempuan terlibat dalam perjuangan kemerdekaan. Seperti yang diucapkan Sukarno pada tahun 1932 : “Saat ini perjuangan kaum perempuan yang terpenting bukanlah demi kesetaraan, karena di bawah kolonialisme laki-laki juga terttindas. Maka, bersama-sama dengan laki-laki, memerdekakan Indonesia. Karena hanya di bawah Indonesia yang merdekalah, kaum perempuan akan mendapatkan kesetaraannya.” Di tengah-tengah ombak besar nasionalisme yang siang malam menyerbu mimpi-mimpi para pemuda, mayoritas kelompok perempuan lainnya memfokuskan diri semata pada pendidikan, pemberantasan buta huruf dan soal-soal keperempuanan. Meskipun hal ini juga amat penting, namun tanpa keterlibatan dalam perjuangan kemerdekaan, semua persoalan kesetaraan akan gagal menghasilkan pembebasan dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun..
Nasionalisme vs Feminisme?
Menurut sejumlah sejarawan feminis sepert Saskia Wieringa, sejak Kongres 1928, telah terjadi tarik menarik antara kepentingan nasionalisme dan feminisme. “Persatuan Nasional” diatur di atas landasan berpikir patriarki yang masih kental, sehingga pandangan tentang konsepsi kesetaraan menjadi pragmatis, sama sekali tak mendalam. Patriarki “disembunyikan”, menjadi sekunder dan samar dalam keteguhan praktek politik membebaskan darat dan laut Indonesia, karena ada prioritas-prioritas perjuangan yang lebih penting.
Di satu sisi, pandangan ini tidak sepenuhnya tepat. Kongres Pemuda bulan Mei pada tahun yang sama (yang menelurkan Sumpah Pemuda), sesungguhnya telah memasukkan butir mengenai “pentingnya kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan persatuan nasional”, dari keseluruhan enam butir topik yang dibahas. Meski demikian, seluruh konsepsi tentang kesetaraan saat itu memang tersubordinasi di bawah kepentingan nasionalisme dan persatuan. Kemudian dalam Kongres Pemuda 1928, juga ada alokasi satu sessi khusus untuk membicarakan persoalan perempuan. Beberapa pembicara seperti M. Tabrani, Bahder Johan, Djaksodipoero dan Nona Adam pun memiliki pandangan yang cukup maju dalam mengkaitkan persoalan perempuan dan kemerdekaan. Meskipun dalam praktek, kesetaraan belum tentu dapat dilaksanakan.
Namun di sisi lain kesenjangan memang terjadi karena masih lemahnya kemampuan gerakan perempuan saat itu untuk membangun satu konsep perjuangan perempuan yang menyeluruh. Juga disebabkan basis massa yang masih kecil dan belum terpolitisasi dari kalangan perempuan, di tengah gerakan anti penjajahan yang menggelembung. Hanya Serikat Rakyat dan Istri Sedar-lah kelompok perempuan yang pada waktu itu secara terbuka menolak kolonialisme. dan kapitalisme. Mungkin “tarik menarik” bukanlah istilah yang tepat, mengingat posisi gerakan perempuan memang belum semassif, sepolitis dan seefektif gerakan anti kolonial. Konsekuensinya, kesetaaan lebih dilihat sebagai tahap yang harus dibenahi demi konsolidasi persatuan nasional, ketimbang sebagai satu hak politik dan ekonomi kaum perempuan seutuhnya.
Jika melihat pengalaman gerakan perempuan Amerika Serikat dan Perancis, kedua-duanya pun timbul dan termotivasi dalam situasi revolusioner yang diciptakan oleh gerakan pembebasan nasional melawan Inggris dan Revolusi Borjuis Perancis 1789. Harus dilihat bahwa gerakan perempuan tidak timbul dan berkembang sendirian, ia adalah reaksi tehadap perkembangan masyarakat dan relasi produksinya. Maka, dalam perjalanannya feminisme tidak mungkin dikontradiksikan dengan arus besar nasionalisme anti kolonial, gerakan anti imperialisme di jaman Sukarno, ataupun gerakan demokrasi dan anti neoliberalisme di masa sekarang.
Setelah Kongres Perempuan tahun 1928 itu, muncul organisasi-organisasi perempuan yang radikal dalam menentang poligini (perceraian sepihak oleh laki-laki), poligami, perkawinan anak perempuan, dan berpendirian nonkooperatif terhadap Pemerintah Kolonial, seperti Isteri Sedar. Muncul pula “sekolah-sekolah liar”, yang menolak subsidi pemerintah kolonial. Di sekolah-sekolah ini ditanamkan semangat cinta Tanah Air dan cita-cita kemerdekaan. Belakangan Istri Sedar menjelma menjadi Gerwis, yang merupakan cikal bakal Gerwani nantinya.
Tidak banyak tersedia data tentang para tokoh perempuan yang terlibat dalam gerakan bawah tanah melawan fasisme Jepang. Berbagai organisasi pemuda seperti Gerindo, AMI, Angkatan Muda Minyak, PRI dan terakhir Pesindo (1945). Namun data tentang keterlibatan kaum perempuan dalam wadah dan laskar-laskar itu sering disebut hanya selintas saja dalam banyak literatur. Yang cukup menonjol adalah keberadaan GWS (Gerakan Wanita Sosialis), organisasi para perempuan dari simpang kiri gerakan. Banyak anggota GWS saat itu yang ditangkap dan dibunuh Nippon karena berani terlibat dalam gerakan bawah tanah melawan fasisme Jepang.
Posting Komentar